Senin, 28 Maret 2016

IBD : Budaya Banyuwangi


BUDAYA BANYUWANGI 
JAWA TIMUR






NAMA : MUHAMMAD FAJAR PANGESTU
NPM     : 14115571
KELAS : 1KA08









BAB I
PENDAHULUAN
 Latar Belakang
Indonesia memiliki keanekaragaman kebudayaan, mulai dari bahasa dengan dialek yang khas, hukum adat, upacara tradisi, sistem kekerabatan, kesenian, sistem teknologi dan peralatan, cerita rakyat, nyanyian rakyat.Keanekaragaman tersebut  melahirkan semboyang bhinneka tunggal ika  yang menghargai kemajemukan.
Salah satu daerah atau kawasan yang memiliki karakteristik khas yang menjadi identitas sendiri berada diujung pulau timur Jawa yaitu Kabupaten Banyuwangi.Kabupaten Banyuwangi adalah Wilayah yang sebagaian besar penduduknya asli suku using ini, memiliki kekayaan budaya yang unik, khas dan luar biasa, sehingga Agus Bing dalam majalah Gong edisi 81/VIII/2006 menyebutkan Banyuwangi sebagai “surga budaya di jawa timur”.
Lebih lanjut majalah gong memaparkan bahwa Banyuwangi adalah surga yang menawan. Banyuwangi menyerap budaya Bali, Jawa, tersentuh tradisi kepesisiran dan menyimpan khasanah pedalaman yang menyajikan berbagai bentuk kesenian tradisional salah satunya adalah kesenian gandrung.


BAB II
 PEMBAHASAN

 Etnik atau Budaya Banyuwangi
Sejarah Suku Osing diawali pada akhir masa kekuasaan Majapahit sekitar tahun 1478 M. Perang saudara dan pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam terutama Kesultanan Malaka mempercepat jatuhnya Majapahit. Setelah kejatuhannya, orang-orang majapahit mengungsi ke beberapa tempat, yaitu lereng Gunung Bromo (Suku Tengger),Blambangan (Suku Osing) dan Bali.Kedekatan sejarah ini terlihat dari corak kehidupan Suku Osing yang masih menyiratkan budaya Majapahit. Kerajaan Blambangan, yang didirikan oleh masyarakat osing, adalah kerajaan terakhir yang
Dalam sejarahnya Kerajaan Mataram Islam tidak pernah menancapkan kekuasaanya atas Kerajaan Blambangan, hal inilah yang menyebabkan kebudayaan masyarakat Osing mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan Suku Jawa. Suku Osing mempunyai kedekatan yang cukup besar dengan masyarakat Bali, hal ini sangat terlihat dari kesenian tradisional Gandrung yang mempunyai kemiripan ,dan mempunyai sejarah sendiri-sendiri.
Kemiripan lain tercermin dari arsitektur bangunan antar Suku Osing dan Suku Bali yang mempunyai banyak persamaan, terutama pada hiasan di bagian atap bangunan. Osing juga merupakan salah satu komunitas etnis yang berada di daerah Banyuwangi dan sekitarnya. Dalam lingkup lebih luas. Dalam peta wilayah kebudayaan Jawa, Osing merupakan bagian wilayah Sabrang Wetan, yang berkembang di daerah ujung timur pulau Jawa. Keberadaan komunitas Osing berkaitan erat dengan sejarah Blambangan (Scholte, 1927). Menurut Leckerkerker (1923:1031), orangorang Osing adalah masyarakat Blambangan yang tersisa. Keturunan kerajaan Hindu Blambangan ini berbeda dari masyarakat lainnya (Jawa, Madura dan Bali), bila dilihat dari adat-istiadat, budaya maupun bahasanya (Stoppelaar, 1927). sebagai kelompok budaya yang keberadaannya tidak ingin dicampuri budaya lain. Penilaian masyarakat luar terhadap orang Osing menunjukkan bahwa orang Osing dengan budayanya belum banyak dikenal dan selalu mengaitkan orang Osing dengan pengetahuan ilmu gaib yang sangat kuat.

Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada tahun 17 SEJARAH PERANG BAYU ini jarang di ekspos oleh media sehingga sejarah ini seperti tenggelam.71 M.
Dalam perkembangan berikutnya, setelah para petinggi Majapahit berhasil hijrah ke Bali dan membangun kerajaan di sana, Blambangan, secara politik dan kultural, menjadi bagian dari Bali atau, seperti yang diistilahkan oleh beberapa sejarawan, “di bawah perlindungan Bali”. Tetapi, pada tahun 1639, kerajaan Mataram di Jawa Tengah juga ingin menaklukkan Blambangan yang meskipun mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Bali menelan banyak korban jiwa; rakyat Blambangan tidak sedikit yang terbunuh dan dibuang (G.D.E. Haal, seperti yang dikutip Anderson, 1982; 75). Blambangan tampak relatif kurang memperlihatkan kekuatannya, di masa penjajahan Belanda, ia justru menampilkan kegigihannya melawan dominasi VOC. Perang demi perang terjadi antara rakyat Blambangan melawan kolonial Belanda. Hingga akhirnya memuncak pada perang besar pada tahun 1771-1772 di bawah pimpinan Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati yang dikenal dengan perang Puputan Bayu. Perang ini telah berhasil memporak-porandakan rakyat Blambangan dan hanya menyisakan sekitar 8.000 orang (Ali, 1993:20). Meski demikian, tampaknya rakyat Blambangan tetap pantang menyerah. Perang-perang perlawanan, meski lebih kecil, terus terjadi sampai berpuluh tahun kemudian (1810) yang dipimpin oleh pasukan Bayu yang tersisa, yaitu orang-orang yang oleh Belanda dijuluki sebagai ‘orang-orang Bayu yang liar’ (Lekkerker, 1926:401-402; Ali, 1997:9). Setelah dapat menghancurkan benteng Bayu, Belanda memusatkan pemerintahannya di Banyuwangi dan mengangkat Mas Alit sebagai bupati pertama Banyuwangi.
Blambangan memang tidak pernah lepas dari pendudukan dan penjajahan pihak luar, dan pada tahun 1765 tidak kurang dari 60.000 pejuang Blambangan terbunuh atau hilang untuk mempertahankan wilayahnya (Epp, 1849:247). Anderson (1982:75-76) melukiskan bahwa betapa kekejaman Belanda tak bertara sewaktu menguasai Blambangan terutama dalam tahun 1767-1781. Dengan merujuk catatan Bosch yang ditulis dari Bondowoso, Anderson mengatakan: “daerah inilah barangkali satu-satunya di seluruh Jawa yang suatu ketika pernah berpenduduk padat yang telah dibinasakan sama sekali”.
Pendudukan dan penaklukan yang bertubi-tubi itu ternyata justru membuat rakyat Blambangan semakin patriotik dan mempunyai semangat resistensi yang sangat kuat. Cortesao, seperti yang dikutip oleh Herusantosa (1987:13), dengan merujuk pada Tome Pires, menyebut “rakyat Blambangan sebagai rakyat yang mempunyai sifat “warlike”, suka berperang dan selalu siap tempur, selalu ingin dan berusaha membebaskan wilayahnya dari kekuasaan pihak lain”. Scholte (1927:146) menyatakan:
“Sejarah Blambangan sangat menyedihkan. Suku bangsa Blambangan terus berkurang karena terbunuh oleh kekuatan-kekuatan yang berturut-turut melanda daerah tersebut, seperti kekuatan Mataram, Bali, Bugis dan Makassar, para perampok Cina, dan akhirnya VOC. Tetapi semangat rakyat Blambangan tidak pernah sama sekali padam, dan keturunannya yang ada sekarang merupakan suku bangsa yang gagah fisiknya dan kepribadian serta berkembang dengan pesat, berpegang teguh pada adat-istiadat, tetapi juga mudah menerima peradaban baru”. Rakyat Blambangan, seperti yang disebut-sebut dalam berbagai sumber di atas, itulah yang selama ini dinyatakan sebagai cikal-bakal wong Osing atau sisa-sisa wong blambangan

 Tujuh unsur yang ada pada etnik Banyuwangi
1.      Sistem Religi dan Upacara Keagamaan
Pada awal terbentuknya masyarakat Osing, kepercayaan pertama suku Osing adalah ajaran Hindu-Budha seperti halnya Majapahit. Seiring dengan berkembangnya kerajaan Islam di Pantura menyebabkan agama Islam menyebar dengan cepat dikalangan suku Osing, sehingga pada saat ini agama masyarakat Osing sebagian besar memeluk agama Islam. Selain agama Islam, masyarakat suku Osing juga masih memegang kepercayaan lain seperti Saptadharma yaitu kepercayaan yang kiblat sembayangnya berada di timur seperti orang Cina, Pamu (Purwo Ayu Mandi Utomo) yaitu kepercayaan yang masih bernafaskan Islam. Sistem religi yang ada di masyarakat Osing ada yang mengandung unsur Animisme, Dinamisme, dan Monotheisme.


2.      Sistem dan Organisasi Kemasyarakatan
Organisasi Sosial
     A.     Pola perkawinan
     Masyarakat suku Osing di Banyuwangi mempunyai tradisi perkawinan yang terpengaruh gaya Jawa, Madura, Bali, bahkan pengaruh dari suku lain di luar Jawa dalam hal gaun pengantinnya. Di lingkungan masyarakat suku Osing Banyuwangi berlaku adat perkawinan dengan melalui tahap-tahap sebagai berikut : (1) tahap perkenalan; (2) tahap meminang; (3) tahap peresmian perkawinan. Selain dari tahap-tahap tersebut, masyarakat suku Osing Banyuwangi juga mengenal adat perkawinan yang cukup menarik, yaitu Adu Tumper dan Perang Bangkat.
    B.     Sistem organisasi sosial
    Suku Osing berbeda dengan suku Bali dalam hal stratifikasi sosial. Suku Osing tidak mengenal kasta seperti halnya suku Bali. Pola kekerabatan di masyarakat suku Osing adalah bilateral yang lebih mengararah pada patrilineal. Sistem lembaga masyarakat suku Osing antara lain kepala desa, sekretaris desa, LMD, kaur pemerintahan, kaur kesra, kaur pembangunan, dan kaur keuangan.

3.   Sistem Pengetahuan
      Pengetahuan tentang alam sekitar (dongeng, legenda mitos), pengetahuan tentang flora,makanan khas,obat-obatan. Perlengkapan:
A. Perlengkapan berlindung:
· Jenis rumah dan bentuk rumah : tikel balung, baresan, serocokan.
· Bagian dan fungsi ruangan rumah : amperan, bale,/jerungan, pawon.
B. Perlengkapan alat mata pencaharian : teter, singkal, patuk sangkan, boding, atau parang, kilung.
C. Alat perlengkapan rumah tangga.
D. Alat perlengkapan dalam ritual keagamaan.
E. Alat transportasi meliputi mobil pick up yang digunakan untuk mengangkut barang-barang dan juga orang.
F. Senjata : pedang, keris, cundrik, tolop, tolop sengkop.            



4.Bahasa
 Suku Osing mempunyai Bahasa Osing yang merupakan turunan langsung dari Bahasa Jawa Kuno seperti halnya Bahasa Bali. Bahasa Osing berbeda dengan Bahasa Jawa sehingga bahasa Osing bukan merupakan dialek dari bahasa Jawa seperti anggapan beberapa kalangan.
Suku Osing merupakan perpaduan budaya dan tradisi yang ada di Banyuwangi dan dikenal dengan istilah Negeri Blambangan. Ada tiga elemen masyarakat yang secara dominan membentuk stereotype karakter Banyuwangi yaitu Jawa Mataraman, Madura-Pandalungan (Tapal Kuda) dan Osing. Persebaran tiga entitas ini bisa ditelisik dengan karakter wilayah secara geografis yaitu Jawa Mataraman lebih banyak mendominasi daerah pegunungan yang banyak hutan seperti wilayah Tegaldlimo, Purwoharjo, Bangorejo dan Tegalsari. Sedangkan masyarakat Madura lebih dominan di daerah gersang seperti di kecamatan Wongsorejo, Muncar dan Glenmore. Sementara masyarakat Osing sendiri dominan di wilayah subur di sekitar Banyuwangi kota, Giri, Glagah, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring dan Genteng.
Bahasa Osing mempunyai keunikan dalam sistem pelafalannya, antara lain:
a. Adanya diftong [ai] untuk vokal [i] : semua leksikon berakhiran "i" pada bahasa
Osing khususnya Banyuwangi selalu terlafal "ai". Seperti misalnya "geni" terbaca "genai", "bengi" terbaca "bengai", "gedigi" (begini) terbaca "gedigai".

b. Adanya diftong [au] untuk vokal [u]: leksikon berakhiran "u" hampir selalu terbaca "au". Seperti "gedigu" (begitu) terbaca "gedigau", "asu" terbaca "asau", "awu"terbaca"awau".

c. Lafal konsonan [k] untuk konsonan [q]. Di Bahasa Jawa, terutama pada leksikon berakhiran huruf "k" selalu dilafalkan dengan glottal "q". Sedangkan di Bahasa Osing, justru tetap terbaca "k" yang artinya konsonan hambat velar. antara lain "apik" terbaca "apiK", "manuk", terbaca "manuK" dan seterusnya.

d. onsonan glotal [q] yang di Bahasa Jawa justru tidak ada seperti kata [piro'], [kiwo'] dan demikian seterusnya.

e. Palatalisasi [y]. Dalam Bahasa Osing, kerap muncul pada leksikon yang mengandung [ba], [pa], [da], [wa]. Seperti "bapak" dilafalkan "byapak", "uwak" dilafalkan "uwyak", "embah" dilafalkan "embyah", "Banyuwangi" dilafalkan "byanyuwangai", "dhawuk" dibaca "dyawuk".
Dari ciri vonologis di atas dapat terlihat perbedaan dengan pengucapan dalam Bahasa Jawa modern. Meski ada kesamaan secara kosakata, namun cara pengucapan yang berbeda terkadang membuat orang yang biasa berbahasa Jawa tak mengerti ketika mendengar ucapan dalam Bahasa Using (Priantono, 2005).
Perbedaan inilah yang menjadi salah satu penciri Bahasa Using dari Bahasa Jawa. Meski sama-sama berasal dari akar Bahasa Jawa Kuno, ada perbedaan yang menghasilkan Bahasa Osing sebagai bahasa yang berdiri sendiri.  Ciri khas lain dari bahasa Osing adalah dalam gaya penggunaan. Tidak seperti Bahasa Jawa yang mengenal unggah-unggahan bahasa seperti Ngoko, Kromo, dan seterusnya, Dalam Bahasa Osing tidak ditemukan hal serupa. Yang ada hanya gaya bahasa berbeda untuk situasi yang berbeda, bukan karena status sosial.
Selain itu, ada pula perbedaan penggunaan pronomina (kata sapaan) untuk orang dengan umur atau kedudukan yang berbeda, sekali lagi bukan karena status sosialnya.
Cara penggunaan pronomina yang berbeda itu dapat dilihat di bawah ini:
§ Siro wis madhyang? = kamu sudah makan?
§ Riko wis madhyang? = anda sudah makan?

Hiro/Iro = digunakan/lawan bicara untuk yang lebih muda(umur)
Siro = digunakan/lawan bicara untuk yang selevel(umur)
Riko = digunakan/lawan bicara untuk yang diatas kita (umur)
Ndiko = digunakan/lawan bicara untuk orang tua (bapak/ibu).
Sedangkan dalam fungsi penggunaan, dibedakan dua cara yakni cara Osing dan cara Besaki. Cara Osing digunakan untuk keperluan sehari-hari atau kebutuhan umum. Cara Besaki sendiri hanya dipergunakan saat okasi penting seperti ritual keagamaan dan upacara pernikahan.


5.      Kesenian
Kesenian Suku Osing sangat unik dan banyak mengandung unsur mistik seperti kerabatnya suku balidan suku tengger. Kesenian utamanya antara lain Gandrung BanyuwangiPatrolSeblangAngklung,Tari Barong, Kuntulan, Kendang Kempul, Janger, Jaranan, Jaran Kincak, Angklung Caruk dan Jedor. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menyadari potensi budaya suku Osing yang cukup besar dengan menetapkan desa Kemiren di kecamatan Glagah sebagai desa adat yang harus tetap mempertahankan nilai-nilai budaya suku Osing. Desa kemiren merupakan tujuan wisata yang cukup diminati di kalangan masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya. Festival budaya dan acara kesenian tahunan lainnya sering diadakan di desa ini.

6.   Sistem Mata Pencaharian Hidup dan Jasa
Macam-macam mata pencaharian masyarakat suku Osing yaitu dengan keadaan topografi daerah Banyuwangi terutama desa Kemiren yang cukup tinggi maka macam-macam mata pencaharian di masyarakat Kemiren adalah Pegawai Negeri, ABRI, Guru, Swasta, Pedagang, Petani, Peternak, Pertukangan, Buruh Tani, Pensiunan, Nelayan, Pemulung, Buruh Biasa, dan Buruh Jasa.
Macam-macam jenis hasil mata pencahariannya yaitu hasil pertanian yang terdiri dari atas padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kentang, tomat, bawang, kacang panjang, terong, timun, dan lain-lain. Selain itu juga terdapat hasil perkebunan yang terdiri atas kelapa, kopi, cengkeh, randu, mangga, durian, pisang, rambutan, pepaya, apokat, jeruk, dan blimbing.
Dan ada terdapat juga hasil perindustrian yang terdiri atas tenunan, atau plismet, ukir-ukiran, dan kerajinan barang lainnya.Dalam bermata pencaharian masyarakat suku Osing terdapat teknik-teknik dalam bermata pencaharian yaitu cara kerja yang dilakukan masyarakat suku Osing yaitu seperti dalam teknik pertanian yaitu membajak, dan pembasmian hama dan teknik dalam home industri yaitu menenun, dan mengukir.
Profesi utama Suku Osing adalah petani, dengan sebagian kecil lainya adalah pedagang dan pegawai di bidang formal seperti karyawan, guru dan pegawai pemda.

7.      Sistem Teknologi dan Perawatan
A.      Mayoritas petani menggunakan Traktor dalam membajak sawah, mereka biasanya menyewa atau menyuruh orang yang mempunyai traktor untuk membajak sawah mereka. Perawatan traktor yang dilakukan misalnya, memncucu alat-alat setelah digunakan untuk membajak sawah (kecuali mesin, mesin hanya dibersihkan dengan kain).
B.      Masih ada petani yang menggunakan hewan peliharaan mereka untuk membajak sawah, yaitu sapi atau kerbau, perawatanya seperti kebanyakan hewan peliharaan lain. Misalnya di beri pakan rumput, dibersihkan, dan lain sebagainya.
C.  Alat untuk menyemprot insektisida dengan sebuah mesin penyemprot, perawatan yang dilakukan yaitu dengan mencuci atau membilas bagian dalam pompa apabila setelah digunakan, dan pada bagian luarnya hanya di lap saja.




DAFTAR PUSTAKA
http://diahwija.blogspot.co.id/2014/04/unsur-etnik-dan-kebudayaan-banyuwangi.html