Senin, 18 Januari 2016

ISD BAB 10 : PRASANGKA DISKRIMINASI DAN ETNOSENTRISME

Prasangka Diskriminasi Dan Etnosentrisme
  1.Perbedaan perasangka dan diskriminasi
   Sikap yang negatif terhadap sesuatu, disebut prasangka. walaupn dapat kita garis bahawi bahwa prasangka dapat juga dalam pengertian negatif. tidak sedikit orang-orang yang mudah prasangka. namun banyak juga orang-orang yang lebih sukar untuk berprasangka. mengapa terjadi perbedaan cukup mencolok? tampaknya kepribadian dan intelekgensia, juga faktor lingkungan cukup berkaitan dengan munculnya prasangka.
  Seseorang yang mempunyai prasangka rasial, biasanya ebrtindak diskriminasi terhadap ras yang di prasangkainya. walaupun begitu, biasa saja seseorang bertindak diskriminastif tanpa berlatar belakang pada suatu prasangka. demikian juga sebaliknya, seseorang yang berprasangka dapat saja berprilaku tidak diskriminatif.

  2.Sebab-sebab timbulnya prasangka dan diskriminasi
   Sebab-sebab timbulnya prasangka dan diskriminasi antara lain disebabkan oleh faktor sebagai berikut :
1. Berlatar belakang sejarah.
2. Dilatarbelakangi oleh perkembangan sosio - kultural dan situasional.
3. Bersumber dari Faktor Kepribadian.
4. Berlatar belakang dari perbedaan keyakinan, kepercayaan, dan agama.

3. Daya upaya untuk mengurangi/menghilangkan prasangka dan diskriminasi
Adapun beberapa upaya untuk mengurangi atau menghilangkan prasangka diskriminasi adalah sebagai berikut :
1. Perbaikan kondisi sosial ekonomi.
2. Perluasan Kesempatan belajar.
3. Sikap terbuka dan Sikap lapang.

   4.Etnosentrisme
Setiap suku bangsa atau ras tertentu akan memiliki ciri khas kebudayaan, yang sekaligus menjadi kebanggan mereka. Suku bangsa, ras tersebut dalam kehidupan sehari-hari bertinngkah laku sejalan dengan norma-norma, nilai-nilai yang terkandung dan tersirat dalam kebudayaan tersebut.

     Suku bangsa, ras tersebut cenderung menganggap kebudayaan mereka sebagai salah satu sesuatu yang prima, riil, logis, sesuai dengan kodrat alam dan sebagainya. segala sesuatu yang berbeda sengan kebudayaan yang mereka miliki, dipandang sebagai sesuatu yang kurang baik, kurang estetis, bertentangan dengan kodrat alam dan sebagainya. Hal-hal tersebut diatas dikenal sebagai ETNOSENTRISME, yaitu suatu kecendrungan yang mengangggap nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan sendiri sebagai suatuyang prima, terbaik, mutlak, dan di pergunakan sebagai tolak ukur untuk menilai dan membedakan dnegan kebudayaan lain.

Senin, 11 Januari 2016

ISD BAB 9 : AGAMA DAN MASYARAKAT

AGAMA DAN MASYARAKAT
Membicarakan peranan agama dalam kehidupan sosial menyangkut dua hal yang sudah tentu hubungannya erat, memiliki aspek-aspek yang terpelihara. Yaitu  pengaruh dari cita-cita agama dan etika kehidupan individu dari kelas sosial dan grup sosial, perseorangan dan kolektivitas,dan mencakup kebiasaan dan Cara semua unsur  asing agama diwarnainya. Yang lainnya juga menyangkut organisasi dan fungsi dari lembaga agama sehingga agama dan masyarakat itu berwujud kolektivitas ekspresi nilai-nilai kemanusiaan. Peraturan agama dalam masyarakat penuh dengan hidup, menekankan pada hal-hal yang normatif atau menunjuk kepada hal-hal yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan. Karena latar belakang sosial yang berbeda dari masyarakat agama, maka masyarakat akan memiliki sikap dan nilai yang berbeda pula. Kebutuhan dan pandangan kelompok terhadap prinsip keagamaan berbeda-beda, kadang Kala kepentingannya dapat tercermin atau tidak sama sekali.




 FUNGSI AGAMA
Fungsi agama terhadap pemeliharaan masyarakat ialah memenuhi sebagian kebutuhan masyarakat. Contohnya adalaha sistem kredit dalam masalah ekonomi, di mana sirkulasi sumber kebudayaan suatu sistem ekonomi bergantung pada kepercayaan yang terjalin antar manusia, bahwa mereka akan memenuhi kewajiban bersama dengan jenji sosial mereka untuk membayar. Dalam hal ini, agama membantu mendorong terciptanya persetujuan dan kewajiban sosial dan memberikan kekuatan memaksa, memperkuat, atau mempengaruhi adat-istiadat.
Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai bersumber pada kerangka acuan yang bersifat sakral, maka norma pun dikukuhkan dengan sanksi sakral. Sanski sakral itu mempunyai kekuatan memaksa istimewa karena ganjaran dan hukumannya bersifat duniawi, supramanusiawi, dan ukhrowi.
Fungsi agama di sosial adalah fungsi penentu, di mana agama menciptakan suatu ikatan bersama baik antara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang mempersatukan mereka.
Fungsi agama sebagai sosialisasi individu adalah, saat individu tumbuh dewasa, maka dia akan membutuhkan suatu sistem nilai sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan aktifitasnya dalam masyarakat. Agama juga berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Orang tua tidak akan mengabaikan upaya “moralisasi” anak-anaknya, seperti pendidikan agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya.

Masyarakat-masyarakat industri sekular
Masyarakat industri bercirikan dinamika dan semakin berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan, sebagian besar penyesuaian-penyesuaian terhadap alam fisik, tetapi yang penting adalah penyesuaian-penyesuaian terhadap alam fisik, tetapi yang penting adalah penyesuaian-penyesuaian dalam hubungan-hubungan kemanusiaan sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempun yai konsekuensi penting bagi agama. Salah satu akibatnya adalah anggota masyarakat semakin terbiasa menggunakan metode empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalah kemanusiaan, sehingga lingkungan yang bersifat sekular semakin meluas, sering Kali dengan pengorbanan lingkungan yang sakral. Watak masyarakat sekular, menurut Roland Robertson (1984), tidak terlalu memberikan tanggapan langsung terhadap agama.

Pelembagaan Agama
Agama begitu universal, permanen dan mengatur dalam kehidupan sehingga bila tidak memahami agama, akan sukar memahami masyarakat. Lembaga agama adalah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan struktur agama.
Dimensi ini mengidentifikasi pengaruh-pengaruh kepercayaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan keagamaan di dalam kehidupan sehari-hari. Terkandung makna ajara “kerja” dalam pengertian teologis.
Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tida tipe, meskipun tidak menggambarkan sebenarnya secara utuh (Elizabeth K. Nottingham, 1945).
A. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral.
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakat menganut agama yang sama. Oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah salam. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya:
1. Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem nilai masyarakat secara mutlak.
2. Dalam keadaan lembaga lain selain keluarga relatif belum berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini nilai-nilai agama sering meningkatkan konservatisme dan menghalangi perubahan.
B. Masyarakat Praindustri yang sedang Berkembang
Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tiap masyarakat ini, tetapi pada saat yang sama lingkungan yang sakral dan yang sekular itu sedikit banyaknya masih dapat dibedakan. Dilain pihak, agama tidak memberikan dukungan sempurna terhadap aktivitas sehari-hari, agama hanya memberikan dukungan terhadap adat istiadat, dan terkadang merupakan suatu sistem tingkah laku tandingan terhadap sistem yang telah disahkan. Nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat menempatkan fokus utamanya pada pengintegrasian kaitan agama dengan masyarkat.
Organisasi keagamaan yang tumbuh secara khusus semula dari pengalaman agama tokoh kharismatik pendiri organisasi, kemudian menjadi organisasi keagamaan yang terlembaga. Muhamadiyah, sebuah organisasi sosial Islam yang penting, dipelopori oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan yang menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dari Tafsir Al-Manar.
Dari contoh sosial, lembaga keagamaan berkembang sebagi pola ibadah, pola ide-ide, kententuan (keyakinan), dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi. Pelembagaan agama puncaknya terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan (ibadat) dan tingkat organisasi.
Tampilnya organisasi agalam adalah akibat adanya “Perubahan batin” atau kedalaman beragama, mengimbangai perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi, pendidikan dsb. Agama menuju ke pengkhususan fungsional. Pengaitan agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan.