PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki keanekaragaman
kebudayaan, mulai dari bahasa dengan dialek yang khas, hukum adat, upacara
tradisi, sistem kekerabatan, kesenian, sistem teknologi dan peralatan, cerita
rakyat, nyanyian rakyat.Keanekaragaman tersebut melahirkan semboyang bhinneka
tunggal ika yang menghargai kemajemukan.
Salah satu daerah atau kawasan
yang memiliki karakteristik khas yang menjadi identitas sendiri berada diujung
pulau timur Jawa yaitu Kabupaten Banyuwangi.Kabupaten Banyuwangi adalah Wilayah
yang sebagaian besar penduduknya asli suku using ini, memiliki kekayaan budaya
yang unik, khas dan luar biasa, sehingga Agus Bing dalam majalah Gong edisi
81/VIII/2006 menyebutkan Banyuwangi sebagai “surga budaya di jawa timur”.
Lebih lanjut majalah gong
memaparkan bahwa Banyuwangi adalah surga yang menawan. Banyuwangi menyerap
budaya Bali, Jawa, tersentuh tradisi kepesisiran dan menyimpan khasanah
pedalaman yang menyajikan berbagai bentuk kesenian tradisional salah satunya adalah
kesenian gandrung.
BAB II
PEMBAHASAN
Etnik atau Budaya
Banyuwangi
Sejarah Suku Osing diawali pada
akhir masa kekuasaan Majapahit sekitar tahun 1478 M. Perang saudara dan
pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam terutama Kesultanan Malaka mempercepat jatuhnya Majapahit. Setelah
kejatuhannya, orang-orang majapahit mengungsi ke beberapa tempat, yaitu lereng Gunung Bromo (Suku Tengger),Blambangan (Suku Osing) dan Bali.Kedekatan
sejarah ini terlihat dari corak kehidupan Suku Osing yang masih menyiratkan
budaya Majapahit. Kerajaan Blambangan, yang didirikan oleh masyarakat osing,
adalah kerajaan terakhir yang
Dalam
sejarahnya Kerajaan Mataram Islam tidak pernah menancapkan kekuasaanya atas
Kerajaan Blambangan, hal inilah yang menyebabkan kebudayaan masyarakat Osing
mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan Suku Jawa. Suku Osing mempunyai kedekatan yang cukup besar
dengan masyarakat Bali, hal ini sangat terlihat dari kesenian tradisional Gandrung yang
mempunyai kemiripan ,dan mempunyai sejarah sendiri-sendiri.
Kemiripan lain tercermin dari
arsitektur bangunan antar Suku Osing dan Suku Bali yang mempunyai banyak
persamaan, terutama pada hiasan di bagian atap bangunan. Osing juga merupakan
salah satu komunitas etnis yang berada di daerah Banyuwangi dan sekitarnya.
Dalam lingkup lebih luas. Dalam peta wilayah kebudayaan Jawa, Osing merupakan
bagian wilayah Sabrang Wetan, yang berkembang di daerah ujung timur pulau Jawa.
Keberadaan komunitas Osing berkaitan erat dengan sejarah Blambangan (Scholte,
1927). Menurut Leckerkerker (1923:1031), orangorang Osing adalah masyarakat
Blambangan yang tersisa. Keturunan kerajaan Hindu Blambangan ini berbeda dari
masyarakat lainnya (Jawa, Madura dan Bali), bila dilihat dari adat-istiadat,
budaya maupun bahasanya (Stoppelaar, 1927). sebagai kelompok budaya yang
keberadaannya tidak ingin dicampuri budaya lain. Penilaian masyarakat luar
terhadap orang Osing menunjukkan bahwa orang Osing dengan budayanya belum
banyak dikenal dan selalu mengaitkan orang Osing dengan pengetahuan ilmu gaib yang
sangat kuat.
Puputan adalah perang terakhir
hingga darah penghabisan sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap
serangan musuh yang lebih besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut
peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada tahun 17 SEJARAH PERANG BAYU ini jarang di ekspos oleh
media sehingga sejarah ini seperti tenggelam.71 M.
Dalam perkembangan berikutnya,
setelah para petinggi Majapahit berhasil hijrah ke Bali dan membangun kerajaan
di sana, Blambangan, secara politik dan kultural, menjadi bagian dari Bali
atau, seperti yang diistilahkan oleh beberapa sejarawan, “di bawah perlindungan
Bali”. Tetapi, pada tahun 1639, kerajaan Mataram di Jawa Tengah juga ingin
menaklukkan Blambangan yang meskipun mendapat bantuan yang tidak sedikit dari
Bali menelan banyak korban jiwa; rakyat Blambangan tidak sedikit yang terbunuh
dan dibuang (G.D.E. Haal, seperti yang dikutip Anderson, 1982; 75). Blambangan
tampak relatif kurang memperlihatkan kekuatannya, di masa penjajahan Belanda,
ia justru menampilkan kegigihannya melawan dominasi VOC. Perang demi perang
terjadi antara rakyat Blambangan melawan kolonial Belanda. Hingga akhirnya
memuncak pada perang besar pada tahun 1771-1772 di bawah pimpinan Mas Rempeg
atau Pangeran Jagapati yang dikenal dengan perang Puputan Bayu. Perang ini
telah berhasil memporak-porandakan rakyat Blambangan dan hanya menyisakan
sekitar 8.000 orang (Ali, 1993:20). Meski demikian, tampaknya rakyat Blambangan
tetap pantang menyerah. Perang-perang perlawanan, meski lebih kecil, terus
terjadi sampai berpuluh tahun kemudian (1810) yang dipimpin oleh pasukan Bayu
yang tersisa, yaitu orang-orang yang oleh Belanda dijuluki sebagai ‘orang-orang
Bayu yang liar’ (Lekkerker, 1926:401-402; Ali, 1997:9). Setelah dapat
menghancurkan benteng Bayu, Belanda memusatkan pemerintahannya di Banyuwangi
dan mengangkat Mas Alit sebagai bupati pertama Banyuwangi.
Blambangan memang tidak pernah
lepas dari pendudukan dan penjajahan pihak luar, dan pada tahun 1765 tidak
kurang dari 60.000 pejuang Blambangan terbunuh atau hilang untuk mempertahankan
wilayahnya (Epp, 1849:247). Anderson (1982:75-76) melukiskan bahwa betapa
kekejaman Belanda tak bertara sewaktu menguasai Blambangan terutama dalam tahun
1767-1781. Dengan merujuk catatan Bosch yang ditulis dari Bondowoso, Anderson
mengatakan: “daerah inilah barangkali satu-satunya di seluruh Jawa yang suatu
ketika pernah berpenduduk padat yang telah dibinasakan sama sekali”.
Pendudukan dan penaklukan yang
bertubi-tubi itu ternyata justru membuat rakyat Blambangan semakin patriotik
dan mempunyai semangat resistensi yang sangat kuat. Cortesao, seperti yang
dikutip oleh Herusantosa (1987:13), dengan merujuk pada Tome Pires, menyebut
“rakyat Blambangan sebagai rakyat yang mempunyai sifat “warlike”, suka
berperang dan selalu siap tempur, selalu ingin dan berusaha membebaskan
wilayahnya dari kekuasaan pihak lain”. Scholte (1927:146) menyatakan:
“Sejarah Blambangan sangat
menyedihkan. Suku bangsa Blambangan terus berkurang karena terbunuh oleh
kekuatan-kekuatan yang berturut-turut melanda daerah tersebut, seperti kekuatan
Mataram, Bali, Bugis dan Makassar, para perampok Cina, dan akhirnya VOC. Tetapi
semangat rakyat Blambangan tidak pernah sama sekali padam, dan keturunannya
yang ada sekarang merupakan suku bangsa yang gagah fisiknya dan kepribadian
serta berkembang dengan pesat, berpegang teguh pada adat-istiadat, tetapi juga
mudah menerima peradaban baru”. Rakyat Blambangan, seperti yang disebut-sebut
dalam berbagai sumber di atas, itulah yang selama ini dinyatakan sebagai
cikal-bakal wong Osing atau sisa-sisa wong blambangan
Tujuh unsur yang ada pada
etnik Banyuwangi
1. Sistem
Religi dan Upacara Keagamaan
Pada awal terbentuknya masyarakat
Osing, kepercayaan pertama suku Osing adalah ajaran Hindu-Budha seperti halnya
Majapahit. Seiring dengan berkembangnya kerajaan Islam di Pantura menyebabkan
agama Islam menyebar dengan cepat dikalangan suku Osing, sehingga pada saat ini
agama masyarakat Osing sebagian besar memeluk agama Islam. Selain agama Islam,
masyarakat suku Osing juga masih memegang kepercayaan lain seperti Saptadharma
yaitu kepercayaan yang kiblat sembayangnya berada di timur seperti orang Cina,
Pamu (Purwo Ayu Mandi Utomo) yaitu kepercayaan yang masih bernafaskan Islam.
Sistem religi yang ada di masyarakat Osing ada yang mengandung unsur Animisme,
Dinamisme, dan Monotheisme.
2. Sistem
dan Organisasi Kemasyarakatan
Organisasi Sosial
A.
Pola
perkawinan
Masyarakat suku Osing di Banyuwangi
mempunyai tradisi perkawinan yang terpengaruh gaya Jawa, Madura, Bali, bahkan
pengaruh dari suku lain di luar Jawa dalam hal gaun pengantinnya. Di lingkungan
masyarakat suku Osing Banyuwangi berlaku adat perkawinan dengan melalui
tahap-tahap sebagai berikut : (1) tahap perkenalan; (2) tahap meminang; (3)
tahap peresmian perkawinan. Selain dari tahap-tahap tersebut, masyarakat suku
Osing Banyuwangi juga mengenal adat perkawinan yang cukup menarik, yaitu Adu
Tumper dan Perang Bangkat.
B.
Sistem
organisasi sosial
Suku Osing berbeda dengan suku Bali dalam hal
stratifikasi sosial. Suku Osing tidak mengenal kasta seperti halnya suku Bali.
Pola kekerabatan di masyarakat suku Osing adalah bilateral yang lebih
mengararah pada patrilineal. Sistem lembaga masyarakat suku Osing antara lain
kepala desa, sekretaris desa, LMD, kaur pemerintahan, kaur kesra, kaur
pembangunan, dan kaur keuangan.
3. Sistem
Pengetahuan
Pengetahuan tentang alam sekitar
(dongeng, legenda mitos), pengetahuan tentang flora,makanan khas,obat-obatan.
Perlengkapan:
A. Perlengkapan berlindung:
· Jenis rumah dan bentuk rumah : tikel balung, baresan, serocokan.
· Bagian dan fungsi ruangan rumah : amperan, bale,/jerungan, pawon.
B. Perlengkapan alat mata pencaharian : teter, singkal, patuk sangkan, boding, atau parang, kilung.
C. Alat perlengkapan rumah tangga.
D. Alat perlengkapan dalam ritual keagamaan.
E. Alat transportasi meliputi mobil pick up yang digunakan untuk mengangkut barang-barang dan juga orang.
F. Senjata : pedang, keris, cundrik, tolop, tolop sengkop.
A. Perlengkapan berlindung:
· Jenis rumah dan bentuk rumah : tikel balung, baresan, serocokan.
· Bagian dan fungsi ruangan rumah : amperan, bale,/jerungan, pawon.
B. Perlengkapan alat mata pencaharian : teter, singkal, patuk sangkan, boding, atau parang, kilung.
C. Alat perlengkapan rumah tangga.
D. Alat perlengkapan dalam ritual keagamaan.
E. Alat transportasi meliputi mobil pick up yang digunakan untuk mengangkut barang-barang dan juga orang.
F. Senjata : pedang, keris, cundrik, tolop, tolop sengkop.
4.Bahasa
Suku Osing mempunyai Bahasa Osing yang merupakan turunan langsung dari Bahasa
Jawa Kuno seperti halnya Bahasa Bali. Bahasa Osing berbeda dengan Bahasa Jawa sehingga bahasa Osing bukan merupakan dialek
dari bahasa Jawa seperti anggapan beberapa kalangan.
Suku Osing merupakan perpaduan
budaya dan tradisi yang ada di Banyuwangi dan dikenal dengan istilah Negeri
Blambangan. Ada tiga elemen masyarakat yang secara dominan membentuk stereotype
karakter Banyuwangi yaitu Jawa Mataraman, Madura-Pandalungan (Tapal Kuda) dan
Osing. Persebaran tiga entitas ini bisa ditelisik dengan karakter wilayah
secara geografis yaitu Jawa Mataraman lebih banyak mendominasi daerah
pegunungan yang banyak hutan seperti wilayah Tegaldlimo, Purwoharjo, Bangorejo
dan Tegalsari. Sedangkan masyarakat Madura lebih dominan di daerah gersang
seperti di kecamatan Wongsorejo, Muncar dan Glenmore. Sementara masyarakat
Osing sendiri dominan di wilayah subur di sekitar Banyuwangi kota, Giri,
Glagah, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring dan Genteng.
Bahasa Osing mempunyai keunikan
dalam sistem pelafalannya, antara lain:
a. Adanya diftong [ai] untuk vokal [i] : semua leksikon berakhiran "i" pada bahasa
a. Adanya diftong [ai] untuk vokal [i] : semua leksikon berakhiran "i" pada bahasa
Osing khususnya Banyuwangi selalu
terlafal "ai". Seperti misalnya "geni" terbaca
"genai", "bengi" terbaca "bengai",
"gedigi" (begini) terbaca "gedigai".
b. Adanya diftong [au] untuk
vokal [u]: leksikon berakhiran "u" hampir selalu terbaca
"au". Seperti "gedigu" (begitu) terbaca
"gedigau", "asu" terbaca "asau",
"awu"terbaca"awau".
c. Lafal konsonan [k] untuk
konsonan [q]. Di Bahasa Jawa, terutama pada leksikon berakhiran huruf
"k" selalu dilafalkan dengan glottal "q". Sedangkan di
Bahasa Osing, justru tetap terbaca "k" yang artinya konsonan hambat
velar. antara lain "apik" terbaca "apiK",
"manuk", terbaca "manuK" dan seterusnya.
d. onsonan glotal [q] yang di
Bahasa Jawa justru tidak ada seperti kata [piro'], [kiwo'] dan demikian
seterusnya.
e. Palatalisasi [y]. Dalam
Bahasa Osing, kerap muncul pada leksikon yang mengandung [ba], [pa], [da],
[wa]. Seperti "bapak" dilafalkan "byapak", "uwak"
dilafalkan "uwyak", "embah" dilafalkan "embyah",
"Banyuwangi" dilafalkan "byanyuwangai", "dhawuk"
dibaca "dyawuk".
Dari ciri vonologis di atas dapat
terlihat perbedaan dengan pengucapan dalam Bahasa Jawa modern. Meski ada
kesamaan secara kosakata, namun cara pengucapan yang berbeda terkadang membuat
orang yang biasa berbahasa Jawa tak mengerti ketika mendengar ucapan dalam Bahasa
Using (Priantono, 2005).
Perbedaan inilah yang menjadi
salah satu penciri Bahasa Using dari Bahasa Jawa. Meski sama-sama berasal dari
akar Bahasa Jawa Kuno, ada perbedaan yang menghasilkan Bahasa Osing sebagai
bahasa yang berdiri sendiri. Ciri khas lain
dari bahasa Osing adalah dalam gaya penggunaan. Tidak seperti Bahasa Jawa yang
mengenal unggah-unggahan bahasa seperti Ngoko, Kromo, dan seterusnya, Dalam
Bahasa Osing tidak ditemukan hal serupa. Yang ada hanya gaya bahasa berbeda
untuk situasi yang berbeda, bukan karena status sosial.
Selain itu, ada pula perbedaan
penggunaan pronomina (kata sapaan) untuk orang dengan umur atau kedudukan yang
berbeda, sekali lagi bukan karena status sosialnya.
Cara penggunaan pronomina yang berbeda itu dapat dilihat di bawah ini:
§ Siro wis madhyang? = kamu sudah makan?
§ Riko wis madhyang? = anda sudah makan?
Hiro/Iro = digunakan/lawan bicara untuk yang lebih muda(umur)
Siro = digunakan/lawan bicara untuk yang selevel(umur)
Riko = digunakan/lawan bicara untuk yang diatas kita (umur)
Ndiko = digunakan/lawan bicara untuk orang tua (bapak/ibu).
Cara penggunaan pronomina yang berbeda itu dapat dilihat di bawah ini:
§ Siro wis madhyang? = kamu sudah makan?
§ Riko wis madhyang? = anda sudah makan?
Hiro/Iro = digunakan/lawan bicara untuk yang lebih muda(umur)
Siro = digunakan/lawan bicara untuk yang selevel(umur)
Riko = digunakan/lawan bicara untuk yang diatas kita (umur)
Ndiko = digunakan/lawan bicara untuk orang tua (bapak/ibu).
Sedangkan dalam fungsi
penggunaan, dibedakan dua cara yakni cara Osing dan cara Besaki. Cara Osing
digunakan untuk keperluan sehari-hari atau kebutuhan umum. Cara Besaki sendiri
hanya dipergunakan saat okasi penting seperti ritual keagamaan dan upacara pernikahan.
5. Kesenian
Kesenian Suku Osing sangat unik
dan banyak mengandung unsur mistik seperti kerabatnya suku balidan suku tengger.
Kesenian utamanya antara lain Gandrung Banyuwangi, Patrol, Seblang, Angklung,Tari Barong,
Kuntulan, Kendang Kempul, Janger, Jaranan, Jaran Kincak, Angklung Caruk
dan Jedor. Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi menyadari potensi budaya suku Osing yang cukup besar
dengan menetapkan desa Kemiren di kecamatan Glagah sebagai desa adat yang harus
tetap mempertahankan nilai-nilai budaya suku Osing. Desa kemiren merupakan
tujuan wisata yang cukup diminati di kalangan masyarakat Banyuwangi dan
sekitarnya. Festival budaya dan acara kesenian tahunan lainnya sering diadakan
di desa ini.
6. Sistem Mata
Pencaharian Hidup dan Jasa
Macam-macam mata pencaharian
masyarakat suku Osing yaitu dengan keadaan topografi daerah Banyuwangi terutama
desa Kemiren yang cukup tinggi maka macam-macam mata pencaharian di masyarakat
Kemiren adalah Pegawai Negeri, ABRI, Guru, Swasta, Pedagang, Petani, Peternak,
Pertukangan, Buruh Tani, Pensiunan, Nelayan, Pemulung, Buruh Biasa, dan Buruh
Jasa.
Macam-macam jenis hasil mata
pencahariannya yaitu hasil pertanian yang terdiri dari atas padi, jagung,
ketela pohon, ketela rambat, kentang, tomat, bawang, kacang panjang, terong,
timun, dan lain-lain. Selain itu juga terdapat hasil perkebunan yang terdiri
atas kelapa, kopi, cengkeh, randu, mangga, durian, pisang, rambutan, pepaya,
apokat, jeruk, dan blimbing.
Dan ada terdapat juga hasil
perindustrian yang terdiri atas tenunan, atau plismet, ukir-ukiran, dan
kerajinan barang lainnya.Dalam bermata pencaharian masyarakat suku Osing
terdapat teknik-teknik dalam bermata pencaharian yaitu cara kerja yang dilakukan
masyarakat suku Osing yaitu seperti dalam teknik pertanian yaitu membajak, dan
pembasmian hama dan teknik dalam home industri yaitu menenun, dan mengukir.
Profesi utama Suku Osing adalah
petani, dengan sebagian kecil lainya adalah pedagang dan pegawai di bidang
formal seperti karyawan, guru dan pegawai pemda.
7. Sistem
Teknologi dan Perawatan
A. Mayoritas
petani menggunakan Traktor dalam membajak sawah, mereka biasanya menyewa atau
menyuruh orang yang mempunyai traktor untuk membajak sawah mereka. Perawatan
traktor yang dilakukan misalnya, memncucu alat-alat setelah digunakan untuk
membajak sawah (kecuali mesin, mesin hanya dibersihkan dengan kain).
B. Masih
ada petani yang menggunakan hewan peliharaan mereka untuk membajak sawah, yaitu
sapi atau kerbau, perawatanya seperti kebanyakan hewan peliharaan lain.
Misalnya di beri pakan rumput, dibersihkan, dan lain sebagainya.
C. Alat untuk
menyemprot insektisida dengan sebuah mesin penyemprot, perawatan yang dilakukan
yaitu dengan mencuci atau membilas bagian dalam pompa apabila setelah
digunakan, dan pada bagian luarnya hanya di lap saja.
DAFTAR PUSTAKA
http://diahwija.blogspot.co.id/2014/04/unsur-etnik-dan-kebudayaan-banyuwangi.html